Gereja Menyulut Obor Iman, Pelepasan Dua Pendeta Menuju Tanah Suci
Oehonis,-Di atas tanah yang keras, di tengah ladang yang pernah digerus kemarau, sebuah nyala kecil terus tumbuh—dan hari ini, nyala itu menyala terang di Gereja GMIT Jonathan Nubatonis, Oehonis, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten TTS. Dalam suasana khidmat penuh kemuliaan, dua pendeta dilepas bukan sekadar untuk bepergian, tetapi untuk menempuh ziarah jiwa yang akan menyusur jejak para nabi dan Sang Juru Selamat sendiri di Tanah Suci: Mesir, Israel, dan Yordania.
Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah pelayaran rohani menembus kabut zaman, menyingkap cakrawala pelayanan yang lebih dalam. Mereka tidak hanya membawa koper, tetapi juga membawa hati gereja, harapan umat, dan nyala iman yang siap diperkokoh di tempat di mana iman pernah lahir, terluka, dan bangkit kembali.
Berangkat dari Jakarta tanggal 9 Mei 2025, mereka akan menjejak tanah Musa, menghirup debu yang mungkin juga disentuh kaki Yesus, dan berdiri di tepian sungai Yordan—tempat air menjadi saksi pembaruan jiwa. Selama 11 hari, mereka akan merendam diri dalam tafsir hidup yang tak tertulis di buku, tetapi terasa dalam bisikan dinding batu tua dan langkah-langkah para peziarah sejati.
"Iman tanpa pengalaman adalah cahaya tanpa api. Kami ingin pelayan Tuhan kami merasakan kobaran api itu langsung dari sumbernya," ujar Yonathan Nubatonis, pendiri gereja ini, kepada media,Minggu,04 Mei 2025 melalui pesan WhatsApp.
Di tempat di mana banyak gereja hanya berdiri sebagai bangunan, GMIT Jonathan Nubatonis menjelma seperti pohon ara yang berbuah di musim kering. Gereja ini tidak hanya mengurusi doa dan ibadah, tapi juga menyentuh ekonomi jemaat. Di sela-sela pujian dan penyembahan, ada pelatihan usaha, program pemberdayaan keluarga, serta semangat untuk menjadikan jemaat bukan hanya percaya, tapi juga berdaya.
Gereja ini adalah rumah yang dibangun dari iman dan disemen oleh kerja nyata.
Gambaran pelayanan mereka ibarat sebuah perahu kecil yang melawan arus, namun tetap tegak karena layar yang dibentangkan oleh kasih dan harapan. Di tengah badai zaman dan tantangan ekonomi, gereja ini memilih untuk menanam, bukan mengeluh. Mereka menyirami jiwa yang haus dengan firman, dan menyuburkan hidup yang gersang dengan pengetahuan dan pelatihan.
Perjalanan ini adalah bagian dari pertumbuhan akar pelayanan. Sebab akar yang dalam tak tampak di permukaan, namun menentukan apakah pohon akan bertahan di musim badai. Dengan mengirim dua pendeta ke Tanah Suci, gereja ini sedang menanam akar lebih dalam—agar pelayanan di desa kecil ini memiliki napas Yerusalem dan semangat Sinai.
Keberanian ini seperti obor di malam pekat. Ia menuntun, bukan hanya terang untuk diri sendiri. Gereja GMIT Jonathan Nubatonis tidak sedang mencari pujian, melainkan sedang membuktikan: bahwa gereja kecil pun bisa punya mimpi besar, asal iman lebih tinggi dari rasa takut, dan kasih lebih besar dari kebiasaan.
Dan ketika kedua pendeta itu kembali nanti, mereka tak hanya membawa oleh-oleh dari luar negeri. Mereka akan kembali dengan api yang tak padam, visi yang diperbarui, dan cinta yang lebih luas dari tanah yang mereka jejaki.
Inilah gereja yang tidak diam. Inilah gereja yang melangkah. Dan dalam setiap langkah, mereka mengajarkan kita satu hal penting: bahwa iman yang hidup akan selalu menemukan jalan menuju cahaya.( Arnold)