Seorang Mahasiswa Arsitektur Asal Alor Tewas Gantung Diri di Gerbang Unwira Kupang
Kupang– Sebuah tragedi memilukan kembali terjadi di lingkungan pendidikan tinggi. Seorang pria muda ditemukan tewas tergantung di gerbang utama Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang. Kejadian ini bukan hanya mengguncang civitas akademika, tetapi juga menelanjangi sisi gelap yang selama ini tak tersentuh: krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa.
Korban ditemukan sekitar pukul 20.30 WITA oleh seorang satpam kampus bernama Aris. Saat hendak membuka gerbang, ia melihat sosok pria berdiri membelakangi di sudut pagar. Tapi saat didekati, pria itu sudah tak bernyawa. Sebuah tali terikat di lehernya, menggantung dari ujung pagar besi. Sebuah handphone dan sepasang sandal jepit tergeletak tak jauh dari tubuh korban.
Temuan tragis ini memunculkan pertanyaan besar tentang keamanan dan pengawasan di lingkungan kampus. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan aksi bunuh diri di area gerbang utama tanpa seorang pun mengetahuinya selama berjam-jam? Di mana keberadaan kamera pengawas? Apa fungsi patroli keamanan kampus?
Keterangan dari satpam siang bernama Alo mengungkap bahwa gerbang kampus ditutup pukul 18.00 WITA, dua jam sebelum korban ditemukan. “Waktu saya tutup pagar, banyak orang masih olahraga, tapi sudut pagar itu kosong,” ujarnya kepada polisi. Lalu kapan dan bagaimana korban masuk ke area pagar yang tertutup rapat?
Tak lama setelah polisi tiba dan mengevakuasi jasad ke RSB Titus Uli, muncul seorang pria yang mengaku mengenal korban. Ia menyebut bahwa korban adalah mahasiswa aktif Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Unwira, asal Kabupaten Alor. Ia menyebut inisial korban adalah HA. Namun hingga saat ini, pihak kampus belum mengonfirmasi status akademik korban.
Informasi yang simpang siur ini justru memperdalam kecurigaan publik. Apakah kampus berupaya menutup-nutupi? Atau ada ketidaksiapan sistem administrasi dalam mengidentifikasi mahasiswanya sendiri?
Di balik satu kasus gantung diri, tersimpan gunungan masalah yang kerap diabaikan: tekanan akademik, isolasi sosial, beban ekonomi, dan minimnya akses dukungan psikologis. Mahasiswa bukan hanya menghadapi ujian di kelas, tapi juga ujian hidup yang tak selalu terlihat.
Jika benar korban adalah mahasiswa, maka ini bukan hanya soal kematian individual, melainkan cerminan dari krisis sistemik dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Lembaga pendidikan wajib bertanggung jawab atas keselamatan fisik dan mental mahasiswanya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak rektorat Universitas Widya Mandira maupun Kapolres Kupang terkait penyebab pasti dan identitas korban. Publik menuntut jawaban. Tragedi ini tidak bisa selesai hanya dengan olah TKP dan autopsi.
Diperlukan penyelidikan serius, transparan, dan tuntas. Tidak hanya untuk memastikan kebenaran di balik kematian ini, tapi juga untuk mencegah kejadian serupa terulang. Mahasiswa bukan angka. Mereka adalah manusia yang butuh ruang aman, bukan pagar kematian.
Tragedi ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Saat seorang mahasiswa lebih memilih mati di gerbang kampus daripada bicara di dalam kelas, maka ada yang benar-benar salah dalam sistem kita.