Menanam Harapan dari Timur: Suara Lembut Kludolfus Tuames untuk NTT






Kupang,-Di ujung timur negeri ini, di tanah yang sering disebut kering dan tandus, tumbuh suara yang tidak menggelegar, tapi menggugah. Suara itu datang dari seorang yang tahu betul makna membangun bukan dari atas, tapi dari bawah. Bukan dari rencana besar, tapi dari akar kecil yang ditanam dengan cinta dan kesabaran.

Ia adalah Kludolfus Tuames, Kepala BPDAS Benain Noelmina salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur  yang selama ini bekerja dalam diam, namun dengan visi yang begitu jelas: menyelamatkan NTT bukan dari janji, tapi dari air, tanah, dan pohon.

Pembangunan yang Tidak Lupa pada Alam

Banyak orang berbicara tentang pembangunan dengan bahasa anggaran dan beton. Tapi Kludolfus memilih jalan lain—ia berbicara tentang ekosistem, tentang air yang mengalir dari hulu ke hilir, tentang hutan yang memeluk tanah agar tidak hanyut, dan tentang desa yang menjadi titik awal perubahan.

“Pembangunan yang melupakan alam adalah pembangunan yang lupa siapa dirinya,” ungkapnya dalam satu forum. Kalimat yang lembut, tapi membawa makna mendalam.

Ia mengajak semua pihak untuk menata ulang cara berpikir: bahwa pembangunan bukan sekadar membangun sesuatu yang terlihat, tapi menjaga sesuatu yang tak terlihat—kesuburan tanah, keseimbangan air, dan keberlanjutan hidup.

Dari Desa, Harapan Itu Tumbuh

Dalam pandangan Kludolfus, desa bukanlah bagian yang tertinggal, melainkan tempat di mana harapan paling murni bisa bertumbuh. Ia mengusulkan ide sederhana namun kuat: jika setiap desa di NTT menanam dan merawat hutan kecil, maka puluhan ribu hektar bisa hidup kembali, memberi air, udara, dan penghidupan yang lebih layak.

“Pohon itu tidak pernah tergesa-gesa. Tapi ia setia. Ia menunggu, merawat, dan memberi tanpa pamrih,” katanya suatu waktu. Dalam pohon, ia melihat keteladanan—kesabaran, keheningan, tapi berdampak besar.

Kludolfus percaya bahwa pembangunan sejati tidak boleh meninggalkan siapa pun, apalagi alam. Ia menyampaikan pandangannya dengan penuh rasa hormat pada semua pihak—bahwa sudah waktunya bekerja bersama, lintas sektor, lintas batas, demi tujuan yang lebih utuh.

Ia tidak menyalahkan, hanya mengajak melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Bahwa hutan bukan hambatan, tapi penyangga hidup. Bahwa air bukan sekadar komoditas, tapi berkah yang harus dijaga dari hulunya. Dan bahwa desa bukan hanya penerima, tapi pemilik arah masa depan.


Di tengah banyaknya stigma negatif tentang Nusa Tenggara Timur, Kludolfus mengajak untuk menata ulang narasi. Bahwa NTT bukan tanah kekurangan, melainkan tanah yang sedang menunggu untuk dipahami dengan benar.

Kekeringan bukan takdir, tapi sinyal bahwa alam sedang meminta perhatian. Dan masyarakat desa, dengan segala kearifan lokalnya, bukan titik lemah, tapi kunci perubahan yang sesungguhnya.

Langkah Kecil, Dampak Panjang

Dari tanah yang sunyi, Kludolfus mengajarkan satu hal penting: bahwa langkah kecil, seperti menanam satu pohon, bisa membawa perubahan besar. Bahwa menjaga air, merawat tanah, dan memuliakan desa adalah bentuk cinta paling nyata untuk masa depan.

Dan mungkin, dari suara yang lembut dan langkah yang tenang inilah, masa depan NTT sedang disusun—bukan dengan gegap gempita, tapi dengan akar yang tumbuh perlahan namun pasti. ( Arnold)

Postingan populer dari blog ini

Diminta Mundur Dari Pilkada TTS, Marten Tualaka : "Saya Bukan Politisi Pinggiran"

Dinilai Memiliki Rekam Jejak Paling Baik,Milenial Kota Kupang Dukung Ansy Lema Jadi Calon Gubernur NTT

"Akibat Kadis di Tahan PBG Terhambat"