Ada Asas Manfaat Pembangunan Gedung Puskesmas Maradesa, Penasehat Hukum ABS dan ERS Minta Bebas Putus

 




Penasehat Hukum (PH) ABS dan ERS meminta kedua terdakwa diputus bebas, pada kasus pembangunan gedung puskesmas Marades, Sumba Tengah.

Permintaan PH kedua terdakwa berdasarkan pada fakta lapangan yang terjadi pada pekerja Gedung Puskesmas telah selesaikan 100%, dan terdapat asas manfaatnya yang sudah digunakan selama 5 tahun terakhir.

Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ABS dan ERS dengan pidana penjara selama satu (1) tahun dan delapan (8) bulan pada sidang pembacaan tuntutan di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Kupang, Klas 1A pada Kamis, (05/9/2024). 

"Kami penuntun umum dalam perkara ini, menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Kupang Klas 1 A, yang memeriksa dan mengadili perkara Tipikor tersebut menyatakan terdakwa (ABS dan ERS, red) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ucap JPU membaca isi tuntutan itu.

PU membacakan tuntutannya yang pertama bagi terdakwa, ABS dikatakan bersalah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1 ) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan bagi terdakwa ERS dikatakan bersalah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3. Jo. Pasal 18 Undang-undang Ri Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Menjatuhkan pidana terhadap ABS dengan pidana penjara selama satu (1) tahun dan delapan (8) bulan dikurangi masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dan membayar denda sebesar Rp. 50.000.000 (50 Juta Rupiah) subsidiair tiga (3) bulan kurungan. Serta menetapkan terdakwa tetap ditahan," jelasnya.

Sedangkan JPU juga membacakan ancaman pidana terhadap terdakwa ERS yang mengatakan bahwa "menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ERS dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun dan 3 (delapan) bulan dikurangi masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dan membayar denda sebesar Rp.50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah) subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan," terang JPU.

Selain itu, menyatakan agar terdakwa ERS membayar uang Pengganti sebesar Rp. 695.451.824,31, dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut selama 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jikalau terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 1 (satu) Tahun.

JPU juga membacakan isi tuntutan yang dimana menetapkan kedua terdakwa ABS dan ERS tetap ditahan.

Sementara itu, Penasehat Hukum (PH), Marsel Raja kepada sejumlah media usai sidang tuntutan tersebut, meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang, Klas 1A yang sedang mengadili perkara tersebut memutus bebas kedua terdakwa tersebut.

"Harapan kami tentu kembali soal kontrak lumpsum, kembali bahwa bangunan sudah selesai, kembali pada gedung (Puskemas Maradesa, red) yang sudah digunakan selama 5 tahun, kembali pada pengusutan, maka harapan saya cuma satu, putusan bebas (vrijspraak)," pinta Penasehat Hukum.

Ia menjelaskan bahwa baginya, tuntutan tersebut merupakan hak jaksa penuntut umum. "Ingin tuntut berapa tahun pun, bagi saya itu haknya. Tetapi bukan pada level, apakah benar seperti itu?. Bagi saya, yang benar adalah fakta persidangan. Sebelum mengurai fakta persidangan, tentu yang dilihat, jenis kontrak. Kita semua sudah tahu bahwa kontrak ini adalah kontrak lumpsum," ujarnya. 

Terus, lanjutnya, kontrak lumpsum yang dilihat apa?. Ya Outputnya, keluarannya, produknya yang adalah ketika bangunan sudah selesai, itu selesailah disitu. "Tidak lagi menghitung volume dan rincian biaya. Ini aturan, Undang-undang yang mengatakan begitu," paparnya. 

Tetapi, menurut Penasehat Hukum, dalam perkara ini, kontrak lumpsum dianggap sebagai kontrak harga satuan. "Ini yang bertentangan dengan aturan hukum bahwa pemahaman di dalam dakwaan bahwa kontrak lumpsum dianggap kontrak harga satuan. Pemahaman normatif adalah kontrak lumpsum. Produknya adalah output keluarannya. Apalagi bangunan sudah dimanfaatkan. Berarti hilanglah sifat melawan hukumnya. Selesai di situ," tegas Marsel.

Apalagi, katanya, catatan penting, Puskesmas Maradesa ini sudah digunakan gedungnya selama lima tahun baru dilakukan audit. "Kalau kita pakai PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) pasal 158 itu ada yang namanya nilai pengusutan bangunan permanen, milik pemerintah. Itu dua persen (2%) pertahun dikalikan lima tahun sudah 10%. epivalennya berapa?. 10% dari 5,6 Miliar sama dengan 560 juta.  Sudah selesai. Tak ada lagi," tandasnya.

Lalu, lanjut Marsel, tidak ada satu pun di dalam dakwaan maupun di dalam tuntutan yang menyinggung soal penyusutan. "Padahal ini aturan. Lalu apa yang diadili?. Aturan mengatakan kontrak lumpsum tapi pakainya lain, kontrak harga satuan,"imbuhnya, kesal.

Ia juga mengarahkan bahwa di zaman sekarang ketika ingin mencari tahu sesuatu cukup gampang. "Tinggal kita searching di google, youtube. Kita ketik disitu (audit kontrak lumpsum). Oh ini kontrak lumpsum yang dimana katakan jikalau bangunan sudah jadi, sudah dipakai. Itu selesai. Tidak lagi menghitung kekurangan volumenya," tegasnya lagi.

Sehingga bagi penasehat, mengaku kedua kliennya sudah melaksanakan kontrak sepenuhnya. "Klien saya Sudah melakukan kontrak sebagaimana yang tertuang di dalamnya selesai 100%. Jadi bagi saya tidak perlu kontrak ini dihitung lagi sebagai kontrak harga satuan. Seperti kontrak-kontrak yang lain yang juga pernah saya tangani. Kan ini jelas-jelas kontrak lumpsum. Pahami itulah," katanya, sinis. 

Menurut Penasehat Hukum, Marsek Raja mengatakan proses ini sama saja mengadili sebuah perbedaan pemahaman. "Ini sudah lima tahun, asas manfaatnya terpenuhi. Bangunan selesai, sudah digunakan selama 5 tahun sampai hari ini. Bangunan sesuai gambar. Bangunan masih utuh hingga saat ini. Terus apanya yang dipersalahkan. Jangan kesannya hanya ingin cari-cari kesalahan," kritiknya.

Marsek menegaskan bahwa jikalau ingin bicara kualitas. Semua ahli yang dihadirkan di persidangan, "baik ahli dari Politeknik Kupang dan Ahli Jasa Kontrsuksi yang dihadirkan oleh kita Penasehat Hukum, itu sama-sama mengatakan kualitas itu sudah sangat bagus. Lalu bagaimana caranya kita mempersalahkan orang dengan cara seperti ini," kritiknya lagi. 

Selain itu, ia meminta agar perlu memahami secara baik jenis kontrak. "Kalau tidak paham kontrak, maka kita juga tidak akan paham bagaimana cara ingin menghukum orang. Jadi tidak perlulah yang namanya bisa dibilang cari-cari kesalahan orang," pungkasnya.

Artikel Pilihan

Iklan