Penyebab puluhan ribu anak di bawah umur yang bekerja tersebut, dikarenakan masalah ekonomi keluarga dan faktor pendidikan. 18,91 persen pekerja anak itu berstatus tidak pernah sekolah. 40,45 persen tidak tamat Sekolah Dasar. 39,29 persen tidak tamat Sekolah Menengah Pertama. Dan, 1,35 persen tamat SMP. Masalah kemiskinan dan pendidikan, erat kaitannya dengan tingginya angka pekerja anak di NTT.
Kota Kupang sebagai ibukota Provinsi NTT, jumlah pekerja anak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari penelusuran media di Pasar Inpres Naikoten dan Pasar Oeba selama sepekan (19-25 Mei 2024), berbagai alasan dikemukakan para pekerja anak. Misalnya, untuk membantu ekonomi keluarga dan sudah tidak sekolah. Mirisnya, justru ada orangtua yang mengantar anaknya ke kedua pasar itu, untuk berjualan dan mengais rejeki dengan cara menawarkan jasa “angkat belanjaan” atau membersikan ikan.
Mencermati masih tingginya angka pekerja anak di Nusa Tenggara Timur, memantik tanggapan dari Fransiscus Go. Sebagai pemerhati masalah ketenaga-kerjaan, calon gubernur NTT itu mengatakan, saatnya semua stakeholder bersatu dan bertekad membangun SDM Indonesia yang handal. “Belum ada kata terlambat. Anak muda Indonesia terus ditingkatkan kualitasnya. Makin banyak anak muda yang bisa meraih berbagai jabatan pekerjaan di luar negeri. Ya.., tinggal pemimpinnya, mau tidak membuat generasi muda lebih kreatif,” kata Frans Go melalui layanan WhatsApp miliknya, Sabtu (25/5)
CEO GMT Property ini menambahkan, para pekerja migran Indonesia harus menaikkan remintance, atau aliran uang masuk dari pekerja migran yang tentunya sangat menolong roda perekonomian bangsa. Ya.. itu pun pemimpinnya,” tambahnya. Frans Go menandaskan, para pemimpin di NTT harus berupaya menekan angka pengangguran dengan cara menciptakan sentra-sentra ekonomi baru di semua penjuru bumi nusantara. “IKN (Ibukota Negara), dan kota-kota baru lainnya, pemekaran provinsi dan kabupaten, harus diupayakan sentra ekonomi baru. Produk-produk unggulan Indonesia selalu diciptakan dan dipasarkan melampaui border, sehingga mendatangkan devisa untuk Indonesia pula. Tapi kembali lagi pada pemimpinnya, mau tidak membuat ekonomi kecil lebih maju. Mau tidak membuat pariwisata NTT lebih hebat? Ya, tinggal pemimpinnya,” imbuh Frans Go.
* Potret Buram Pekerja di-PHK, Investor Kabur
Di sisi lain, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia mengalami potret buram. Pasalnya, jumlah pengangguran di sektor informal tidak imbangi pertumbuhan angkatan kerja. Menurut BPS, tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2024 sebanyak 7,2 juta orang. Sempitnya lapangan kerja formal memaksa penduduk usia kerja mencari pendapatan di sektor informal, dengan membuka usaha sendiri agar bisa memiliki penghasilan. Bidang reseller atau menjual barang dari supplier banyak diminati, termasuk membuka warung di pinggir jalan serta jasa cuci baju yang mulai menjamur di Kota Kupang.
Kemunculan pekerjaan-pekerjaan berbasis kemitraan atau gig economy, seperti ojek online dan kurir online, juga memberi harapan baru. Gig economy, dimana para pekerja dibayar tidak berdasarkan waktu kerja, melainkan berdasar jumlah barang atau layanan yang dikerjakan. Pekerja di sektor ini harus menyediakan modal kerja sendiri, seperti kendaraan (BBM dan pulsa komunikasi). Sayangnya, mereka yang kerja di bidang ini tidak mendapatkan perlindungan kesejahteraan seperti di sektor formal.
Belum lama ini, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di Jawa Barat. Sejumlah perusahaan mengajukan PHK ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Kondisi ini tentu memprihatinkan. Undang-undang Cipta Kerja yang dinilai tak melindungi kaum buruh, dicap sebagai pemicunya. Hubungan kerja yang bersifat kontrak, outsourcing, magang, kemitraan, dan sebagainya, dinilai tidak berpihak pada pekerja.
Kaburnya sejumlah investor ke negara tetangga, disinyalir kurang kondusifnya peta politik di tanah air. Sebaliknya, negara-negara tetangga Indonesia memberlakukan pajak yang murah dengan tawaran berbagai kemudahan untuk berinvestasi. Di sisi lain, skill pekerja kita belum mumpuni. Mereka harus meningkatkan kapasitasnya melalui pendidikan vokasi untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan industri yang semakin padat modal. (robert kadang)