Diduga Kongkalikong Putra Dapatalu Minta Kejaksaan Agung Copot Kejari Belu dan Kasipidum





Kupang, -Diduga ada kongkalikong dalam Kasus penganiayaan yang menimpa Fandem Dapatalu ( 28) warga Desa Rafae,Raimanu Kabupaten Belu,Nusa Tenggara Timur pada beberapa bulan lalu.Meski demikian,tidak ada alasan membuat keluarga patah arang,segala upaya terus dilakukan.


Ma Putra Dapatalu, Kaka Kandung Korban menduga ada kongkalikong antara pihak kejaksaan dan pelaku sehingga Ia meminta Kejaksaan Agung untuk mencopot Kepala Kejaksaan Negeri Atambua dan Kasipidum. 


Menurut Putra, kasus ini termasuk dalam kategori pidana umum namun hingga saat ini belum  juga dilimpahkan ke Pengadilan.

 

"Ada apa dengan persoalan ini?,"kesal Putra. 


Lebih lanjut,katanya Jaksa yang memeriksa berkas perkara ini meminta petunjuk tambahan berupa Video dan Foto saat kejadian serta rekonstruksi.


"Ini kan kasus pidana umum bukan pembunuhan atau pemerkosaan dan harus ada rekonstruksi," kata Putra kepada wartawan di kupang, Rabu 31 Januari 2024.


Putra menyebut bahwa kejadian tersebut berawal sejak tanggal 5 Oktober korban di undang menghadiri pesta  di Desa Rafae  Raimanuk.


"Dalam perjalanan sekitar jam 3 pagi adik saya dipukul oleh orang tidak di kenal. Jam 6 pagi dia pulang ke rumah dan pergi ke RSUD Atambua untuk visum dan buat Laporan Polisi di Polres Belu," cerita Putra.


Putra mengatakan pihak Polres melimpahkan ke Polsek Raimanuk untuk dimintai keterangan tambahan.


"Polisi kemudian membenarkan kejadian itu dan berhasil mengungkap identitas pelaku atas nama Rio Costa.


Dikatakan bahwa  pada Bulan Desember pihak keluarga korban meminta pelaku untuk menyelesaikan persoalan dengan jalur damai.

"Tanggal 2 Desember pelaku ditangkap dan ditahan di Polres Belu," ujarnya.


"Kemudian mama kandung pelaku datang rumah untuk minta maaf. Orang tua saya memberikan denda sesuai dengan adat istiadat di sana. Setelan itu orang tua pelaku langsung menghilang sampai saat ini," tukasnya.


Dan pada Bulan Januari jaksa atas nama Resa meminta penyidik untuk membawa bukti tambahan video pada waktu kejadian.


Mengenai proses hukum sebenarnya, menurut Putra pelaku punya keluarga juga meminta proses supaya lebih cepat.


"Jaksa minta di penyidik bahwa kasus ini tidak bisa naik karena kekurangan alat bukti," ujar Putra.

"Harus ada bukti video dan foto sedangkan setahu saya rekonstruksi hanya ada di kasus besar lain," kata dia.


Hingga saat ini Lanjut Putra,persoalan sepertinya  berjalan ditempat karena itu Ia meminta  Kejaksaan Agung untuk mencopot Kejari Atambua dan Kasipidum.


Sementara itu,Ahli Hukum Pidana Asal Kampus Unwira Kupang, Mikhael Feka saat dikonfirmasi media ini Rabu 31 Januari  2024 menjelaskan bahwa dalam KUHAP tidak diatur tentang rekonstruksi dalam perkara Pidana. 


Menurut Mikhael, Rekonstruksi diatur dalam Pasal 23 Ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 disebutkan bahwa untuk menguji persesuaian keterangan para saksi atau tersangka penyidik dapat melakukan rekonstruksi. 


Kata dia, Proses rekonstruksi menurut lampiran SK Kapolri 1505/2000 dapat dilakukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Setiap peragaan perlu diambil foto-fotonya dan jalannya peragaan dituangkan dalam BAP. Kemudian hasil rekonstruksi dianalisa terutama pada bagian-bagian yang sama atau berbeda dalam BAP.


"Berdasarkan Per Kapolri tersebut rekonstruksi tidak wajib dilakukan apabila keterangan saksi-saksi atau tersangka dan alat bukti lainnya sebagai mana di atur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah bersesuaian," ujarnya.


Dia menjelaskan bahwa rekonstruksi bukanlah satu-satunya cara untuk memastikan persesuaian tersebut karena bisa dilakukan dengan cara konfrontasi para saksi. 


Menurutnya, Rekonstruksi lebih pada cara dilakukannya suatu tindak pidana jika keterangan saksi atau tersangka belum bersesuaian maka bisa dilakukan Rekonstruksi tapi kalau sudah bersesuaian tidak perlu dilakukan Rekonstruksi. (***)

Artikel Pilihan

Iklan